Kamis, 22 Desember 2011

Kekayaan laut indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan banyak menyimpan kekayaan alam. Dengan luas lautan hampir 70% dari total keseluruhan luas negara Indonesia, Sebesar 14 persen dari terumbu karang dunia ada di Indonesia. Diperkirakan lebih dari 2.500 jenis ikan dan 500 jenis karang hidup di dalamnya, tetapi belum banyak dipahami betul nilainya bagi bangsa Indonesia.

Terumbu karang merupakan pusat keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia yang memiliki struktur alami serta mempunyai nilai estetika yang tiada taranya. Selain sebagai lingkungan yang alami, terumbu karang juga mempunyai banyak manfaat bagi manusia dalam berbagai aspek ekonomi, sosial dan budaya. Kekayaan spesies terumbu karang, ikan, dan biota laut lainnya tampak berlimpah di Perairan Alor, Nusa Tenggara Timur, pada Mei 2007. Segitiga Terumbu Karang yang disebut juga sebagai “Amazon of the Seas” mencakup wilayah perairan tengah dan timur Indonesia, Timor Leste, Filipina, Sabah-Malaysia, Papua Niugini, dan Kepulauan Salomon diperkirakan dihuni sekitar 3.000 spesies ikan.
Sayang, ternyata banyak terumbu karang yang rusak. Menurut data dari Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia atau Coral Reef Rehabilitation Management Program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (COREMAP LIPI), hanya 6,83 persen dari 85.707 km2 terumbu karang yang ada di Indonesia berpredikat sangat baik (excellent). Terumbu karang yang sangat baik itu tersebar di 556 lokasi. Sungguh sangat disayangkan sekali, kekayaan alam yang sangat berlimpah di negri ini, tidak kita jaga dengan baik, dan kita lestarikan keberadaannya.



Oleh sebab itu perlunya peran pemerintah untuk menjaga dan melindungi terumbu karang yang merupakaan tempat berlindungnya ikan dan juga sebagai tempat pemijahan ikan. Pemerintah perlu mengawasi dan melarang nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan pukat harimau, pemboman,dan menggunakan zat berbahaya yang dapat merusak terumbu karang.
Sedangkan untuk hasil perikanannya sendiri, kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan investasi di sektor perikanan tangkap terpadu tahun depan naik 16,6% menjadi Rp 14 triliun dari target tahun ini Rp 12 triliun. Tyas Budiaman, Direktur Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengatakan kenaikan investasi didorong penambahan investor.
Kita ambil contoh hasil perikanan di Minahasa Utara
Hasil yang disumbang dari sektor perikanan sangat menjanjikan. Produksi perikanan pada tahun 2007 tercatat sebanyak 14, 756,66 ton yang terdiri dari 13,283,2 ton perikanan laut dan 1.473,46 ton perikanan darat. Perikanan laut meliputi penangkapan ikan di laut dan budidaya ikan di laut. Produksi perikanan di laut tercatat hanya dari penangkapan ikan di laut sebesar 13.283,2 ton.
Perikanan darat meliputi perairan umum, budidaya kolam, budidaya sawah, dan tambak. Produksi perikanan tercatat dari budidaya kolam sebesar 1.342 ton, (91,08%) dan tambak 131,46 ton (8,92%).
Potensi perikanan Minahasa Utara meliputi jenis-janis ikan utama yaitu: Cakalang (Katsu-wonus pelamis), Tuna (Thun-nus spp.), Dugong (Dugong du-gong), Penyu (Chelonia spp.), ikan raja laut (Latimeria mena-doensis), ikan Napolen/Mami-ng (Chelinus undulatus), ikan hias (seperti Clown fish dan Angel), udang Penaeid, Lobster (Panulirus sp.), Kepiting bakau (Scylla serrata), Teripang (Holo-thuria spp.), ikan Budidaya (se-perti, kerapu tikus, Beronang dan Kuwe), budidaya Kerang mutiara (Pinctada maxima de-ngan potensi seluas 11.000 ha di pulau Talise, Gangga dan Bangka).

Data Potensi
• Penduduk : 172.690 jiwa*
• Prod. Perikanan Tangkap : 11.870 ton
• Nelayan : 8.931 jiwa
• Perahu Tanpa Motor : 2.456 buah
• Motor Tempel : 431 buah
• Kapal Motor : 32 Buah
• Luas Baku Usaha Budidaya : 10.500 ha
• Prod. Perikanan Budidaya : 314.961 ton
• Pembudidaya : 5.884 jiwa
• Tempat Pelelangan Ikan : 2 buah
• Panjang Pantai : 229,2 kilometer
• Pulau Kecil : 19 buah
Juga masih ada potensi terumbu karang (>2500 ha), padang lamun (>1000 ha), Mangrove (>1.843 ha), dan budidaya rumput laut (khususnya di pulau Naen dengan jenis Eucheuma cottoni dan E. spinosium dengan produksi 300 ton/bulan dengan luas 600 ha).

Fakta Klasik Nelayan
Wilayah laut dan pesisir Sulut dikenal sebagai areal yang kaya. Bukan hanya nilai memiliki nilai keanekaragaman hayati yang tinggi, tapi juga kekayaan populasi produk yang melimpah. Apalagi ditunjang dengan wilayah ekosistem pesisir yang luas, mulai dari mangrove, padang lamun, sampai terumbu karang, sekaligus mempengaruhi ketersediaan biota sumberdaya di laut lepas.
Ragam kekayaan sumberdaya tersebut, ikut mempengaruhi ketersediaan potensi perikanan. Apalagi wilayah Sulut yang berluas 15.272,16 km2 dan sebagian besar berupa perairan laut, tak terelakkan ikut ‘menyimpan’ potensi perikanan yang besar. Bahkan dari beberapa perhitungan, potensi perikanan (pelagis maupun demersal) di wilayah perairan territorial Sulut diperkirakan mencapai 125.900 ton per tahun, sementara di perairan ZEE sekitar 196.900 ton per tahun.
Jumlah ini pun belum termasuk potensi biota laut lain, seperti suntung dan cumi-cumi, udang, lobster, kepiting, teripang, dan ragam jenis moluska. Termasuk pula, potensi dari kegiatan budidaya, seperti rumput laut, kerang mutiara, atau ragam jenis krustacea, yang bisa dikembangkan di pesisir Sulut dengan panjang garis pantai sekitar 1.837 km.
Hanya saja besar potensi tersebut belum berbanding lurus dengan kenyataan kehidupan masyarakat pesisir di Sulut. Di laut, perairan Sulut (dan Indonesia) memang kaya dan jaya, namun di darat kehidupan para nelayan dan keluarganya tetap miskin dan terlilit problem ekonomi yang sangat berat.
Kehidupan nelayan yang miskin ini, memang tak lepas dari penghasilan mereka yang sangat kecil. Bahkan kalau dirata-ratakan, pendapatan per bulan nelayan di Sulut hanya sekitar Rp400 ribu. Jumlah yang sangat kecil, bila kemudian dihubungkan dengan nilai rupiah yang harus dikeluarkan dalam situasi harga-harga kebutuhan hidup saat ini. Bahkan jumlah tersebut, hanya berselisih sedikit saja jika dibandingkan dengan pengeluaran perkapita penduduk Sulut pada 2007 senilai Rp389.565. Dengan pendapatan sekecil itu, nyaris tak ada yang bisa disimpan oleh mereka, karena semuanya habis untuk kebutuhan makanan dan pengeluaran rutin harian rumah tangga, serta biaya pemeliharaan alat tangkap.
Memang tak semua nelayan hanya mampu meraup penghasilan per bulan sekecil itu. Karena ada pula nelayan yang bisa meraih lebih banyak penghasilan rata-rata umumnya nelayan di Sulut tersebut. Penghasilan yang besar itu, terutama karena kepemilikan sarana dan alat tangkap yang lebih baik, dengan modal yang besar pula. Misalnya, nelayan pemilik soma pajeko (dari hasil modifikasi data yang termuat dalam Atlas Sumberdaya Pesisir Minahasa, Manado, Bitung) bisa meraup penghasilan bersih per bulan rata-rata sebesar Rp7,35 juta. Bahkan nelayan pemilik soma pajeko di Bitung atau di kecamatan Kema (Minut), ada yang bisa meraup penghasilan per bulan lebih dari Rp9 juta. Namun penghasilan ini pula sebanding dengan nilai modal yang harus dikeluarkan dari sarana dan alat tangkap tersebut, sekitar Rp200-300 juta.
Nilai pendapatan per bulan yang besar juga dihasilkan oleh sejumlah alat tangkap yang lebih modern dan memiliki areal jelajah yang jauh, seperti motor cakalang, funae, atau rawai (lihat grafis). Namun hasil produksi ini pula sebanding dengan modal yang besar serta biaya operasi yang harus dikeluarkan nelayan pemilik. Bahkan cukup banyak pula usaha-usaha perikanan ini dikelola oleh perusahaan. Hasil bersih penghasilan dari nelayan pemilik (tradisional) dan yang dikelola perusahaan perikanan juga biasanya akan berbeda, terutama karena berhubungan dengan biaya operasional, termasuk tenaga kerjanya. Misalnya, meski untuk jenis alat tangkap rawai dari nelayan pemilik (tradisional) hasil bersih per bulan hanya sekitar Rp2,8 juta, sedangkan yang dikelola perusahaan hasil bersihnya bisa mencapai Rp12,5 juta per bulan.
Hanya saja, umumnya nelayan tersebut hanya memiliki peralatan sederhana, sehingga hasil tangkapannya pun kecil. Begitu pula dengan sarana penangkap, sebagian besar hanya berupa perahu tanpa motor, sehingga wilayah jelajahnya juga terbatas. Umumnya nelayan hanya menangkap ikan di sekitar pantai sampai sekitar 3 mil, berbeda dengan nelayan berperahu motor yang bisa menjelajah sampai jarak 12 mil dari pantai, bahkan sampai ke pulau-pulau terluar di Sulawesi. Selain itu, kepemilikan rumpon untuk ‘mengumpulkan’ ikan juga berpengaruh terhadap hasil tangkapan dari nelayan pemilik dengan peralatan lebih modern.
Sementara tak sedikit pula, penduduk pesisir yang tak punya perahu maupun alat tangkap. Bagi mereka yang tak punya peralatan ini, banyak yang memilih menjadi buruh nelayan dari nelayan pemilik, misalnya soma pajeko. Namun pendapatan buruh nelayan ini, juga masih sangat kecil. Kalau dirata-ratakan per bulan dari beberapa jenis alat tangkap, buruh nelayan di Sulut hanya meraup penghasilan bersih sekitar Rp230 ribu. Bahkan, ada buruh nelayan di berbagai kecamatan di Sulut, cuma meraup penghasilan bersih di bawah Rp100 ribu per bulan. Meski untuk jenis alat tangkap lain, terutama funae yang memang butuh keahlian khusus buruh nelayan, bisa memperoleh penghasilan bersih di atas Rp600 ribu.










 
Itu merupakan salah satu contoh bahwa laut indonesia sangat berpotensi dibidang perikanan, karena itu kita semua harus menjaga dan melindung laut Indonesia, dan perikanan di Indonesia tak berkesudahan.

Alasan masuk perikanan

Perkenalkan, saya Yoel Suranta Bagun, saya merupakan anak ke 3 dari 3 bersaudara. Saya berasal dari kota kecil yaitu Sibolga provinsi SUMUT. Saya merupakan alumni dari SMA N 2 Sibolga.
Saya memilih perikanan itu bukan keinginan saya, tetapi karena saya kebetulan ikut PSSB dari sekolah saya dan saya lah satu - satunya yang diterima, maka saya harus mengambil perikanan. setelah saya lebih mengenan dunia perikanan dikampus, saya baru sadar bahwa tidak sia - sia saya masuk perikanan.
Saya merasa perikanan itu kedepan tidak akan ada habisnya dan juga tidak hanya untuk bekerja, tetapi juga bisa untuk kita jadikan peluang bisnis, seperti budidaya sendiri.
Harapan saya untuk perikanan kedepan, pemerintah harus mengontrol dan juga mengawasi setiap nelayan yang mau pergi atau punsetelah pulang melaut agar tidak terjadi over fishing dan juga penggunaan alat tangkap yang tidak diperbolehkan.
Setelah selesai s1 saya berencana untuk melanjutkan studi saya, dan saya ingin tetap diperikanan untuk memajukan misi saya yaitu Memajukan Perikanan di Indoesia